Senin, 13 Desember 2010

PUNYA HATI TAPI TAK MERASA

PUNYA HATI TAPI TAK MERASA

 Tuesday, May 11, 2010 at 8:01pm

Punya mata tapi tak dipakai untuk melihat. Punya telinga tapi tak mau mendengar. Punya lidah tapi tak berani bicara. Mata, telinga, lidah, dan semua organ tubuh kita memang penting, tapi tak sepenting ‘segumpal daging’ yang jika ia baik, maka semuanya baik, dan jika ia buruk, maka semuanya pun jadi buruk. Itulah hati.

Mata yang baik dipadu dengan hati yang buruk bisa menjadi mangsa pornografi. Telinga yang sehat dengan hati yang jahat adalah modal awal bagi tukang gosip. Lidah yang lancar berbicara namun hatinya keji, waduh entah kerusakan macam apa yang bisa ditimbulkannya!

Hati adalah penentu kualitas diri kita. Orang yang tekun mempelajari agama Islam tak mungkin tidak menyadari pentingnya hati. Begitu seriusnya para ulama mempelajari hati, sehingga muncul istilah ‘menjaga hati’, bahkan ‘penyakit-penyakit hati’ pun dirinci secara mendalam.

Sungguh mengherankan jika kini ada yang bicara tentang dakwah tapi mengabaikan hati. Tidak jauh dari ingatan bagaimana Aa Gym mengingatkan semua orang bahwa manusia takkan bisa menyentuh hati kalau bukan dengan hati juga. Namun Aa Gym yang selalu menggunakan kelembutan hatinya pun ditinggalkan oleh banyak orang hanya karena fitnah. Maka dakwah serapuh apakah yang hendak diciptakan oleh orang-orang yang mengabaikan hati?

Bukanlah sebuah cerita fiksi jika dikatakan bahwa seseorang yang menganggap dirinya sebagai da’i pernah bertutur tentang objek dakwahnya: “Kalau mereka tidak suka ya terserah! Tugas kita kan hanya menyampaikan. Memangnya kita ini penghibur?” Bukan pula sebuah dongeng jika ada seorang ‘ustadzah’ di sebuah milis yang mengatakan “Saya ya begini ini! Mereka mau bilang apa, terserah. Saya memang orangnya nggak sensitif, atau mungkin merekalah yang terlalu sensitif. Saya kan tidak bisa mengatur apa yang orang pikirkan tentang saya!”

Orang yang tak peduli memang biasanya takkan dipedulikan. Ironi terbesar dalam dakwah adalah ketika dakwah itu sendiri dicincang-cincang dan direduksi hingga makna yang tersisa darinya hanyalah “menyampaikan”. Asal sudah menyampaikan, tunailah kewajiban!

Memang ada momen-momen dalam Sirah Nabawiyah di mana Rasulullah saw. dan para sahabatnya berdakwah dengan terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling, namun hal ini tak pernah jadi kebiasaan. ‘Deklarasi keislaman’ ‘Umar ibn al-Khattab ra. yang ditandai dengan aksi saling bertukar bogem dengan kaum musyrik di Mekkah adalah momen penting yang meningkatkan semangat dan keberanian umat Muslim, tapi tak perlu sering-sering diulang, karena pendekatan yang radikal semacam itu membutuhkan timing yang luar biasa tepat.

Salah langkah sedikit, mungkin karena terlalu bersemangat, tidak hanya membahayakan diri sendiri, namun seluruh gerakan dakwah. Kalau tidak punya kharisma seorang ‘Umar ra., terlalu gegabah rasanya untuk bersikap seperti dirinya.

Perjalanan dakwah Islam dari masa ke masa haruslah diwarnai dengan interaksi antara hati manusia yang satu dengan yang lainnya. Kalau bukan karena hati, tak mungkin penjara dipanggil dengan sebutan yang mesra seperti ‘madrasah’. Kalau bukan karena hati yang terlanjur jatuh cinta, tak mungkin para pejuang Palestina yang tiap hari disiksa di penjara-penjara kaum Zionis itu bisa membentuk halaqah-halaqah untuk memperdalam pengetahuan agamanya.

Masuk penjara sebagai pejuang, keluar penjara sebagai pejuang, ulama, dan hafizh Qur’an. Ust. Insan L. Mokoginta, yang dikenal luas sebagai kristolog, juga mengalami hal yang sama. Karena ceramahnya dianggap memprovokasi rakyat, beliau divonis hukuman penjara selama 6 bulan. Karena memang dasarnya seorang da’i, maka dalam tempo singkat saja sudah 8 orang penghuni penjara itu yang masuk Islam. Begitu dekat hatinya dengan jamaahnya di penjara, beliau sampai merasa berat meninggalkan penjara, kalau bukan karena kewajibannya terhadap keluarga.

Tidaklah mungkin menyeru hati tanpa menggunakan hati. Tidak logis berdakwah tanpa mengindahkan perasaan orang lain. Alih-alih membantu orang mendapatkan hidayah, yang sering terjadi justru menimbulkan fitnah terhadap dakwah. Punya hati tapi tak merasa. Inikah dakwah?

Agar Hati tak Berkarat

Senjata yang jarang digunakan akan lebih mudah berkarat. Analogi ‘senjata’ sangat tepat digunakan untuk hati, karena ‘segumpal daging’ inilah yang menentukan baik-buruknya segala amunisi persenjataan yang kita miliki. Semakin tak pernah digunakan, semakin berkarat hati manusia.

Kalau sedang menganalisa situasi sosial, kita dapat dengan mudah sampai pada kesimpulan bahwa manusia pada dasarnya memiliki fitrah yang sama, namun jalan hidupnya berbeda-beda. Keluarganya beda, lingkungannya beda, sekolahnya beda, teman-teman sepergaulannya beda, dan seterusnya, hingga terbentuklah karakter yang berbeda-beda pula.

Seorang pecandu narkoba, misalnya, tidak menjadi pecandu sejak lahir. Ada hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupnya, yang akumulasinya menyebabkan ia terjerumus menjadi pengguna barang haram itu. Tidak ada yang tiba-tiba. Segalanya terbangun sedikit demi sedikit, seiring perjalanan hidupnya yang dilalui selangkah demi selangkah.

Kalau kita duduk tenang, saat kepala dan hati sedang dingin, ketika hidup sedang dalam keadaan nyaman, mudah saja memahami hal semacam itu. Tapi nampaknya memang tidak mudah untuk terus berkepala dingin dan berpikiran panjang. Dalam kondisi normal sehari-harinya, kita malah lebih mudah menghakimi orang tanpa mau memahami masalahnya. Kalau berempati, itu sudah lebih bagus, namun sayang tak membantu sama sekali.

Kita tahu bahwa umat ini rusak bukan karena kesalahan individual, melainkan kekeliruan berjamaah. Pengetahuan ini harusnya menggiring kita untuk melakukan perbaikan di mana pun kita berada. Umat salah jalur, barangkali (atau bahkan kemungkinan besar) karena salah kita juga. Setiap Muslim sudah diperingatkan berkali-kali bahwa doa kita pasti dikabulkan oleh Allah, namun yang kita lihat hanyalah orang yang terlihat ketika kita bercermin. Kalau bisa mendoakan orang tua, istri, suami, dan anak, itu sudah dianggap bagus.

Asahlah ketajaman perasaan dengan berhenti mengabaikannya. Jika merasa iba melihat seorang pengemis yang renta, maka ketahuilah bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mendoakannya tidak sampai sepuluh detik. Mendoakan anak yang menangis di pinggir jalan tak perlu waktu lebih dari sepuluh detik juga.

Demikian pula mendoakan pedagang kaki lima yang nampak lesu karena dagangannya tak laku, juga tak perlu waktu lebih dari sepuluh detik. Doakanlah dengan yang sederhana-sederhana saja. Umat ini telah salah jalur, dan tak ada yang tak butuh doa dari saudaranya. Maka berikanlah! Pasti Allah mengabulkan!

• “Ya Allah, ringankanlah beban mereka.” (3 detik)
• “Ya Allah, cukupkanlah kebutuhan mereka.” (4 detik)
• “Ya Allah, bahagiakanlah hati mereka.” (3 detik)

Begitu banyak orang yang menunggu-nunggu agar seseorang menyentuh hatinya. Akan tetapi, berapa banyakkah orang yang cukup lembut, sehingga bisa merasakan kebutuhan-kebutuhan mereka?

Maukah Anda menyelamatkan hati Anda?

Senin, 02 Agustus 2010

Aku dan Jangkrik

Monday, 02 August 2010
Jam 01:50 am

Sejenak memejamkan Mata!
yang ada hanya aQ dan Jangkrik,
Qu tak bisa tidur karena suaranya!
Apakah ia mau menyampaikan sesuatu padaku?

Jangkrik said ) Maaf... kalo aQ mengganggu mu,
wahai Makhluk ALLAH yang sempurna'
karena suaraku....
sesungguhnya aQ sedang melaksanakan kewajiban Qu,
tuk berzikir kepada Sang Khaliq...
Tapi aku memohon do'a untuk mu agar suaraku,
tidak mengganggu tidurmu...

Ya! Jangkrik terima kasih sudah mendo'akan aQ
agar bisa melanjutkan tidurQu!
Matahari telah terbit, dan suaramu tak terdengar lagi di telingaku!

Jangkrik said ) Qu harap kau terbiasa mendengar suaraQu,
kala malam tiba!
Siang hari sahabat Qu (BURUNG) yang kan menggantikan....
Dia akan berkicau...
suaranya akan menenangkan Hati bagi yang mendengar kicauan nya...

Minggu, 01 Agustus 2010

Penjual Kerumpal ( Kerupuk Palembang )



Penjual Kerumpal
Thursday, June 17, 2010 at 8:20pm

" Masih teringat jelas melihat raut wajah nya dengan muka memelas dan lelah...seorang penjual kerumpal.
Sekitar pukul 1 siang lewat, datang seorang penjual kerumpal, yg d judul udh aku ksh tau y... (kerupuk palembang) k kantor ku..
Kebetulan jam sgitu aku bru menyelesaikan makan siang ku,,
Dy menawarkan dagangan nya, td ny kupikir dy akan pergi saat ku bilang aku baru aja makan, tp,, dengan sedikit memelas dy memaksa ku untuk membeli kerumpal nya...
Dy blng (saya belum makan mba, dari tadi belum laku...''')
terrenyuh rasa nya aku mendengar kata2nya, dng melihat raut mukanya yg penuh harap agar dapat terjual kerumpal itu...
sempat aku menawar dari yg dy tawarkan 3 bungkus 10 ribu, aku hanya membeli nya 2 bungkus...

Raut wajah nya sedikit terlihat senang, akhirnya terjual jg, (pikirnya dlm hati)...
Dy melihat ada 2 gelas Air Mineral tdk jauh dengan Meja Kerja ku, sambil berkata (Mba''' saya beli AQUA nya..) dalam hati aku memang ingin memberinya segelas air, nampak dy haus sekali... akhirnya aku memberikan Air itu dngn ku bilang (ini tdk d jual, kamu minum saja)...sambil dy menghabiskan minuman nya, aku ada sedikit percakapan, sekedar bertanya (kenapa tidak jualan di Bis saja?)... Dy bilang ( takut sama kamtib mba!) oh,,, rupanya dy mungkin baru berjualan disini, mungkin pula dy baru menginjakan kakinya d jakarta, itu bisa kulihat dari paras wajah nya dan aksen suaranya seperti nya baru datang dari pulau sumatera...

Transaksi jual beli kerumpal nya sudah selesai, dy pamit setelah menghabiskan minumannya...
Tp entah mengapa dalam hati ku, aku masih merasakan gak tega, karena aku cuma bisa membelinya 2 bungkus saja... (Hehehe itu karna d saku celana ku cuma nyisa uang 15 ribu,,, ).
Meski kerumpal itu tidak aku makan, aku cuma ingin jadi penglaris,, mudah2an kerumpal nya bisa laku terjual....
masih kita hargai dy mau berjualan, ketimbang pengamen ato dy jd pengangguran... Jelas dy tidak menunjukan kalo dy punya rasa gengsi.. Yang penting halal!!!

Hee''eem... jaman sekarang apa aja bisa kita lakukan, masih banyak pekerjaan yang baik, yang bisa menghasilkan uang dengan cara yang halal...
Mungkin ini bisa dijadikan contoh kecil, orang daerah yang merantau kejakarta, demi perjuangan hidupnya...
dikota Metropolitan ini... (Salut dengan kegigihan nya!!!)

Hobby Baru

Hobby Baru
sunday, July 04 2010
06:08 pm

Setahun terakhir, aku jadi kerajingan kalo udah lihat buku...
Dulu buku2 yang ada cuma buat koleksi aja' lebih suka baca majalah...
Hobby baru ni, ditularkan dari teman2 ku yang memang hobby baca...
Banyak referensi dari mereka kalo ada buku bagus (Best Seller) katanya' eh tapi gak juga' kadang gak best seller pun tu buku memang bagus tuk dibaca...

Belum banyak siy, koleksi buku yang aku punya sekarang, tapi kalo dah weekend bawaanya pingin nongkrong ditoko buku,,, hampir tiap minggu aku pasti jalan nya k toko buku' walo satu dua pasti wajib beli..hehe...

Kemarin, ada Book Fair di senayan' wah kayaknya gak puas ma hasil buruan hari tu' di Otak ku masih gentayangan, banyak buku yang belum ku beli... * dalam hati mau nya harus balik lagi!!!!*
Gak kerasa tentengan Hand bag ku udah lumayan berat, ternyata udah 8 buku yang aku beli...
*Segitu belum diborong*

Buku Hampir mengalahkan Petualangan Kulineriku, tapi gak juga' coz ujung2nya capek hunting ttp harus isi tangki (perut yg udh ngerep) n wajib makan yang memang udah ada listnya di otak,,, hehe...

Cukup menyenangkan,,,, liburan 2hari ne membuat kaki ku jd pegel n sakit sikit' * udah protes ne kaki (capek boo...)
ngajak istirahat,,,, hiihii...

Rasakanlah

Rasakanlah
July 21, 2010
02:30 am

Rasakanlah kehadiran Nya...
Rasakanlah curahan hatimu kepada Nya...
Rasakanlah Akal dan Hatimu,
Menyentuh koneksi langsung kepada Nya..
Rasakanlah Daun yang mulai tumbuh...
Rasakanlah mekarnya Bunga ...
Rasakanlah Makhluk selain dirimu yang bertasbih kepada Nya dimalam ini...

Sabtu, 31 Juli 2010

Kampung Biduen


 

" Kampung Biduen "

28 Maret 2010, 09:20
Catatan Aceh yang Tercecer
Kampung Biduen
M Adli Abdullah - Budaya


AHAD ini, kita mengupas kisah Kampung Biduen (Pelacuran) di Lampulo Banda Aceh. Beratus-ratus tahun lalu, kampung ini menjadi pusat prostitusi pada masa kerajaan Aceh. Namun sebutan ini dapat dihapuskan dengan kelembutan tangan Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Ashingkili.

Kisah ini saya peroleh dari tulisan Muhammad Yunus Jamil yang meninggal dunia pada tahun 1978. Sejarawan sederhana ini memang selalu menukilkan sejarah Aceh dari perspektif lokal. Salah satu buku yang terakhir berjudul “Gerak Kebangkitan Aceh”.

Dalam buku itu, Yunus menuturkan bahwa disebelah timur daratan pantai kuala Aceh, dulunya daerah perdagangan dan banyak bangsa asing, dari Eropa, India, Cina, Arab menetap di sana dan disitu tempat loji-loji bangsa asing. Disitu juga ada Kampong Bidook, juga disebut kampung Biduen (kampung pelacuran). Saat itu, selain warga Aceh, banyak orang orang seperti orang Tionghoa serta orang asing (bukan Eropa) yang menetap di sana (Yunus Jamil:1975).

Komplek pelacuran ini hilang setelah Syeikh Abdur Rauf Al Fansuri Asshingkili mendarat di pantai kuala Aceh. Sebelum dikenal sebagai Syaikh Abdur Rauf, ulama yang sangat
disegani lebih dahulu ingin menyelamai keadaan sosial budaya masyarakat Aceh waktu itu. Diceritakan sebelum menghadap Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675), Syeikh Abdurrauf setelah pulang ke Aceh pada tahun 1584 dari pengembaraannya di Arab selama 19 tahun, menyamar sebagai seorang pawang dan menetap di kampung Bidook (Biduen) dan meminta izin pada Panglima Laot kerajaan Aceh untuk bisa menetap disana.

Di komplek pelacuran tersebut, Syeikh Abdur Rauf selain membasmi praktek pelacuran tersebut juga mendirikan pusat pendidikan dan pengembangan Islam. Jadi model dakwah Syeikh ini sangat manjur. Karena dia mampu mengobati berbagai penyakit yang diderita oleh masyarakat. Kemampuan ini tentu saja menjadi buah bibir mulai dari masyarakat kecil hingga ke istana. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pawang yang selalu mendapat tangkapan ikan selalu sangat banyak. Kepiawaan dalam melaut ini banyak menarik perhatian penduduk ampung yang didominasi oleh orang asing (Yunus Jamil:1975).

Akhirnya, tenarlah Syeikh Abdur Rauf sebagai seorang pawang yang alim dan juga sebagai tabib yang mujarab. Dia mampu mengubah kampung Biduen sebagai tempat pelacuran menjadi pusat thariqat shatariah. Disebutkan bahwa masyarakat sekitar mengikutinya. Karena kemampuan lahir dan batin inilah beliau dikenal sebagai pawang keramat dan tabib yang mahir.

Karena keterkenalan beliau dalam pada perayaan maulid nabi Muhammad saw pada tahun 1075 H (1665) diundang ke Istana Darud Donya oleh Sultanah Ratu Safiatuddinsyah (1641-1675). Dalam pertemuan tersebut Syeikh Abdur Rauf memperkenalkan diri bahwa selama ini dia menyamar sebagai nelayan dan tabib untuk memperbaiki kerusakan akhlak generasi Aceh.

Dia menuturkan bahwa perhatian Sultanah Safiatuddin Syah terhadap persoalan ini sangat minim. Karena itu pula kemudian Syeikh Abdurrauf diangkat menjadi waliul amri dan mufti kerajaan Aceh sampai beliau wafat pada malam Senin, 23 Syawwal 1106 H/1695M (Wan Mohd. Shaghir Abdullah:2008)

Pengalaman kampung Bideun dan sosok Syeikh Abdur Rauf memang jarang diangkat ke permukaan. Yang menarik adalah sosok ulama ini dalam mengubah tatanan masyarakat yang sudah hancur menggunakan cara yang santun. Untuk mengubah komplek pelacuran dia memadukan kekuatan dunia dan batini. Dari aspek duniawi, dia memperlihatkan bagaimana seorang ulama yang ingin mencari rezeki yang halal, tanpa menadah tangan ke atas. Sedangkan dalam nuansa kebatinan dia mampu memperlihatkan bagaimana peran tarekat di dalam membasmi maksiat.

Kampung Bideun memang tidak ada lagi pelacuran. Namun isu pelacuran di Aceh dan anak-anak Aceh yang menjadi pelacur di luar Aceh adalah fenomena yang tidak dapat disangkal. Karena itu, kita berhadap ada generasi seperti Syeikh Abdur Rauf yang mampu mengubah tatanan seperti kampung Bideun dan kampung-kampung lain yang sudah rusak di Aceh. Inilah sebenarnya harapan kita pada ulama saat ini, yaitu harus mengelola aspek dunia dan batini untuk memperbaiki moral masyarakat.

Memberantas maksiat dengan lemah-lembut, bukan dengan paksaan. Terjun langsung ke lapangan dengan tinggal bersama mereka. Tidak membuat jarak atau memusuhi mereka. Tidak ada sikap anarkis yang diperlihatkan oleh Abdur Rauf dalam mengubah kampung rostitusi menjadi kampung yang islami.

Demikian pula, Syeikh Abdur Rauf walaupun dikenal memiliki karya intelektual yang diakui di dunia, namun perannya dalam masyarakat tidak dapat diabaikan. Sebelum menjadi wali amri pemerintah Aceh, terlebih dahulu dia menjadi rakyat supaya mengerti betul masalah rakyat. Jadi, jika kemudian di Aceh ada isu menjadi wali nanggroe, maka perlu meniru gaya keulamaan Syeikh Abdur Rauf tersebut. Sebab, bagaimana pun persoalan Kampung Bideun pada era Sultanat, tetap bisa dijumpai pada masa sekarang. Hanya saja, kita belum mendapatkan sosok yang mirip dengan Syeikh Abdur Rauf. (Penulis; M Adli Abdullah)